Rakyat yang menetap di suatu wilayah tertentu, dalam hubungannya dengan negara disebut warga negara(citizen). Warga negara secara sendiri-sendiri merupakan subjek-subjek hukum yang menyandang hak-hak sekaligus kewajiban-kewajiban dari dan terhadap negara.
Setiap warga negara mempunyai hak-hak yang wajib diakui oleh negara dan wajib dihormati, dilindungi, dan difasilitasi, serta dipenuhi oleh negara. Sebaliknya, setiap warga negara juga mempunyai kewajiban-kewajiban kepada negara yang merupakan hak-hak negara yang juga wajib diakui, dihormati, dan ditaati atau ditunaikan oleh setiap warga negara.
Dengan salah satu persyaratan diterimanya status sebuah negara harus adanya unsur warganegara yang diatur menurut ketentuan hukum tertentu, sehingga warga negara yang bersangkutan dapat dibedakan dari warga negara lain. Pengaturan mengenai kewarganegaraan ini biasanya ditentukan berdasarkan salah satu dari dua prinsip dasar, yaitu prinsip ‘ius soli’ atau prinsip ‘ius sanguinis’.
Dalam zaman keterbukaan seperti sekarang ini, kita menyaksikan banyak sekali penduduk suatu negara yang berpergian keluar negeri, baik karena direncanakan dengan sengaja ataupun tidak, dapat saja melahirkan anak-anak di luar negeri. Bahkan dapat pula terjadi, karena alasan pelayanan medis yang lebih baik, orang sengaja melahirkan anak di rumah sakit di luar negeri yang dapat lebih menjamin kesehatan dalam proses persalinan.
Dalam hal, negara tempat asal seseorang dengan negara tempat ia melahirkan atau dilahirkan menganut sistem kewarganegaraan yang sama, tentu tidak akan menimbulkan persoalan. Akan tetapi, bagaimana apabila kedua negara yang bersangkutan memiliki sistem yang berbeda? Kewarganegaraan manakah yang akan menjadi miliknya? Akan kah seseorang itu menjadi warga negara tempat dia dilahirkan? Atau tetap menjadi warga negara sebagaimana kewarganegaraan yang dimiliki orang tuanya? Atau pun ada kemungkinan lain, yaitu memiliki kewarganegaraan ganda, atau bahkan tidak memiliki kewarganegaraan sama sekali (stateless).
Hal demikianlah yang menjadi permasalahan dalam masalah kewarganegaraan. Walaupun setiap negara itu memiliki peraturan hukum tersendiri dalam menentukan kewarganegaraan rakyat nya. Dengan adanya ketentuan-ketentuan yang tegas mengenai kewarganegaraan, maka akan dapat mencegah adanya penduduk yang a-patride dan yang bi-patride. Ketentuan-ketentuan itu sangant lah penting untuk membedakan hak dan kewwajiban bagi warga negara dan bukan warga negara.
Oleh karena itu, berdasarkan permasalahan yang di sebutkan di atas, penulis akan mencoba mengurai dan membahas permasalahan tersebut dengan melihat lebih jauh tentang apa yang disebut warga negara dan kewarganegaraan, berikut dengan asas-asas kewarganegaraan dan prinsip-prinsip dasar kewarganegaraan. Serta dasar hukum yang mengatur tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Sehingga kita dapat mengetahui dan memahami akan tema pemakalah yang akan di sampaikan nantinya.
Warga Negara dan Kewarganegaraan
Warga Negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang- undangan. Sedangkan Kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara. Dan Pewarganegaraan adalah tata cara bagi orang asing untuk memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia melalui permohonan.
Kewarganegaraan merupakan keanggotaan seseorang dalam satuan politik tertentu (secara khusus: negara) yang dengannya membawa hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Seseorang dengan keanggotaan yang demikian disebut warga negara. Seorang warga negara berhak memiliki paspor dari negara yang dianggotainya.
Kewarganegaraan merupakan bagian dari konsep kewargaan (bahasa Inggris: citizenship). Di dalam pengertian ini, warga suatu kota atau kabupaten disebut sebagai warga kota atau warga kabupaten, karena keduanya juga merupakan satuan politik. Dalam otonomi daerah, kewargaan ini menjadi penting, karena masing-masing satuan politik akan memberikan hak (biasanya sosial) yang berbeda-beda bagi warganya.
Kewarganegaraan memiliki kemiripan dengan kebangsaan (bahasa Inggris: nationality). Yang membedakan adalah hak-hak untuk aktif dalam perpolitikan. Ada kemungkinan untuk memiliki kebangsaan tanpa menjadi seorang warga negara (contoh, secara hukum merupakan subyek suatu negara dan berhak atas perlindungan tanpa memiliki hak berpartisipasi dalam politik). Juga dimungkinkan untuk memiliki hak politik tanpa menjadi anggota bangsa dari suatu negara.
Di bawah teori kontrak sosial, status kewarganegaraan memiliki implikasi hak dan kewajiban. Dalam filosofi "kewarganegaraan aktif", seorang warga negara disyaratkan untuk menyumbangkan kemampuannya bagi perbaikan komunitas melalui partisipasi ekonomi, layanan publik, kerja sukarela, dan berbagai kegiatan serupa untuk memperbaiki penghidupan masyarakatnya.
Lengkapnya ketentuan-ketentuan dalam kewarganegaraan sekarang ini di atur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2006 yang tertera di makalah ini pada halaman berikutnya. Pemakalah bermaksud memisahkan dasar hukum kewarganegaraan itu pada halaman khusus nantinya, agar kawan-kawan pembaca dan penyimak lebih memudahkan dalam memahami dan menganalisis isi dari Undang-Undang tersebut.
Berbicara masalah warga negara maka juga kita berbicara tentang orang-orang yang berada di wilayah suatu negara tersebut, yaitu penduduk. Penduduk ialah mereka yang berada di wilayah sesuatu negara untuk sementara waktu dan yang tidak bermaksud bertempat tinggal di wilayah negara itu.
Bukan penduduk ialah mereka yang berada di wilayah sesuatu negara untuk sementara waktu dan yang tidak bermaksud bertempat tinggal di wilayah negara itu.
Sebelumnya dalam UUD’45 pasal 26 disebutkan: Penduduk ialah warga negara indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.
Maka penduduk dapat dibagi atas
1. Penduduk warganegara, dengan singkat di sebut “warganegara” dan
2. Penduduk bukan warganegara yang disebut “orang asing”
Tiap negara biasanya menentukan dalam UU keawarganegaraan siapa yang menjadi warga negara dan siapa yang dianggap orang asing. Di indonesia dahulunya sebelum amandemen kewarganegaraan itu di atur dalam UU No.62 tahun 1958.
Dalam UU 1945 pasal 26 itu dinyatakan:
1. Yang menjadi warganegara ialah orang-orang bangsa indonesia asli dan orang bangsa lain yang disahkan dengan UU sebagai warganegara.
2. Syarat-syarat yang mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan undang-undang.
Asas dan Stelsel Dalam Kewarganegaraan
Adapun asas kewarganegaraan yang mula-mula dipergunakan sebagai dasar dalam menentukan termasuk tidaknya seorang dalam golongan warganegara dari sesuatu negara, dan Asas-asas inilah kemudian yang dianut di negara Indonesia dalam UU no. 12 tahun 2006 adalah:
a. Asas keturunan atau Ius Sanguinis
b. Asas tempat kelahiran atau Ius Soli
c. Asas Kewarganegaraan Tunggal
d. Asas Kewarganegaraan Ganda Terbatas
1. Asas Ius Sanguinis
Asas Ius Sanguinis menetapkan kewarganegaraan seorang menurut pertalian atau keturunan dari orang yang bersangkutan. Jadi yang menentukan kewarganegaraan seseorang ialah kewarganegaraan orang tuanya, dengan tidak mengindahkan di mana ia sendiri dan orangtuanya berasa dilahirkan.
Contoh: Seseorang yang lahir di negara A, yang orang tuanya adalah warganegara B, adalah warganegara B.
2. Asas Ius Soli
Asas Ius Soli menetapkan kewarganegaraan seseorang menurut daerah atau negara tempat ia dilahirkan.
Contoh: seseorang yang lahir dinegara A, adalah warganegara , walaupun orangtuanya adalah warganegara B.
3. Asas Kewarganegaraan Tunggal
Asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang
4. Asas Kewarganegaraan Ganda Terbatas
Asas menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang di atur dalam undang-undang ini.
Dalam menentukan kewarganegaraan itu dipergunakan dua stelsel kewarganegaraan, disamping asas yang tersebut di atas. Stelsel itu ialah:
a. Stelsel aktif
Menurut stelsel aktif orang harus melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu secara aktif untuk menjadi warganegara.
b. Stelsel pasif
Menurut stelsel pasif orang dengan sendirinya dianggap menjadi warganegara tanpa melakukan sesuatu tindakan hukum tertentu.
Berhubung dengan dengan kedua stelsel itu maka harus kita bedakan:
a. Hak opsi, yaitu hak untuk memilih sesuatu kewarganegaraan (dalam stelsel aktif)
b. Hak repudiasi, yaitu hak untuk menolak sesuatu kewarganegaraan (dalam stelsel (pasif)
Karena perbedaan dasaratau asas yang dipakai dalam menentukan menentukan kewarganegaraan, maka hal demikian ini menimbulkan tiga kemungkinan kewarganegaraan yang dimiliki seseorang:
1. a-patride
Yaitu, adanya seorang penduduk yang sama sekali tidak mempunyai kewarganegaraan.
2. bi-patride
Yaitu, adanya seorang penduduk yang mempunyai dua kewarganegaraan sekaligus (kewarganegaraan rangkap atau dwi-kewarganegaraan)
Seseorang keturunan bangsa A, yang negaranya memakai dasar kewarganegaraan ius soli, lahir dinegara B, dimana berlaku dasar ius sanguinis. Orang ini bukanlah warganegara A, karena ia tidak lahir di negara A, tetapi ia juga bukan warganegara B, karena ia bukanlah keturunan bangsa B. dengan demikian orang ini sama sekali tidak mempunyai kewarganegaraan. Ia adalah a-patride
Seorang keturunan bangsa B yang negaranya menganut asas ius sanguinis lahir di negara A, dimana berlaku asas ius soli. Oleh karena orang ini adalah keturunan bangsa B, maka ia dianggap sebagai warga negara dari negara B, akan tetapi oleh negara A ia juga dianggap sebagai warganegaranya, karena ia dilahirkan di negara A. orang ini mempunyai dwi-kewarganegaraan. Ia adalah bi-patride.
Kesimpulannya: perbedaan asas kewarganegaraan daripada dua negara A (ius soli) dan B (ius sanguinis) dapat menimbulkan kemungkinan bahwa:
• si N adalah a-patride, karena ia dilahirkan di negara B, sedang ia adalah keturunan warganegara A, atau
• si X adalah bi-patride, karena ia dilahirkan di negara A, sedang ia adalah keturunan warganegara B.
3. multipatride
Seseorang yang memiliki kewarganegaraan lebih dari dua.
Adanya ketentuan-ketentuan yang tegas mengenai kewarganegaraan adalah sangant penting bagi setiap negara, karena hal itu dapat mencegah adanya penduduk yang a-patride dan yang b-patride. Ketentuan-ketentuan itu penting pula untuk membedakan hak dan kewajiban-kewajiban bagi warga negara dan bukan warga negara.
Permasalahan tersebut di atas juga harus di hindari dengan upaya:
• Memberikan Kepastian hukum yang lebih jelas akan status hukum kewarganegaran seseorang
• Menjamin hak-hak serta perlindungan hukum yang pasti bagi seseorang dalam kehidupan bernegara
Perolehan dan Kehilangan Kewarganegaraan
Dapat dikatakan bahwa dalam praktik, memang dapat dirumuskan adanya 5 prosedur atau metode perolehan status kewarganegaraan yaitu :
1. Citizenship by birth, yaitu pewarganegaraan berdasarkan kelahiran di mana setiap orang yang lahir di wilayah suatu negara, dianggap sah sebagai warga negara yang bersagkutan. Asas yang dianut adalah ius soli.
2. Citizenship by descent, yaitu pewarganegaraan berdasarkan keturunan di mana seorang yang lahir di luar wilayah suatu negara dianggap sebagai warga negara karena keturunan apabila pada waktu yang bersangkutan dilahirkan keduanya adalah warga negara tersebut. Asas yang dipakai disini adalah ius sanguinis.
3. Citizenship by naturalisation, yaitu pewarganegaraan orang asing yang atas kehendak sadarnya sendiri mengajukan pewrmohonan untuk menjadi warga negara dengan memenuhi segala persyaratan yang ditentukan untuk itu.
4. Citizenship by registration, yaitu pewargganegaraan bagi mereka yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu dianggap cukup dilakukan melalui prosedur administrasi pendaftaran ulang yang lebih sederhana dibandingkan dengan metode naturalisasi yang lebih rumit.
5. Citizenship by incorporation of territory, yaitu proses pewarganegaraan karena terjadinya perluasan wilayah negara.
Seseorang dapat pula kehilangan kewarganegaraan karena 3 kemungkinan sebagai berikut :
1. Renunciation, yaitu tindakan seseorang untuk menanggalkan salah satu dari dua atau lebih status kewarganegaraan yang diperolehnya dari 2 negara atau lebih.
2. Termination, yaitu penghentian status kewarganegaraan sebagai tindakan hukum, kareana yang bersangkutan memeperoleh kewarganegaraan dari negara lain.
3. Deprivation, yaitu suatu penghentian paksa, pencabutan, atau pemecatan dari status kewarganegaraan berdasarkan perintah pejabat yang berwenang karena terbukti adanya kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan dalam cara perolehan status kewarganegaraan atau apabila orang yang bersangkutan terbukti tidak setia atau berkhianat kepada negara dan Undang-Undang Dasar.
Status kewarganegaraan pada pokoknya terkait dengan status seseorang sebagai warga dari suatu negara. Oleh karena itu kewarganegaraan itu biasanya dipahami bersifat tunggal. Namun, di beberapa negara federal, seperti misalnya AS dan Switzerland, setiap orang dianggap terkait dengan dua subjek negara, yaitu negara bagian dan negara federal. Oleh karena itu, warga negara AS dan Switzerland, pada hakikatnya memiliki 2 macam kewarganegaraan, yaitu sebagai warga negara nasional dan warga negara bagian. Tentu tidak semua negara federal menganut paham demikian. Meskipun Misalnya India, meskipun susunan organisasinya juga federal, tidak menganut prinsip dwi kewarganegaraanseperti itu. Negara federal India mirip dengan praktik di negara kesatuan, yaitu memandang status kewarganegaraan warganya bersifat tunggal.
Berbeda dengan prinsip kelahiran itu, di beberapa negara, dianut prinsip ‘ius sanguinis’ yang mendasarkan diri pada faktor pertalian seseorang dengan status orang tua yang berhubungan darah dengannya. Apabila orangtuanya berkewarganegaraan suatu negara, maka otomatis kewarganegaraan anak-anaknya dianggap sama dengan kewarganegaraan orangtuanya itu. Akan tetapi, sekali lagi, dalam dinamika pergaulan antar bangsa yang makin terbuka dewasa ini, kita tidak dapat lagi membatasi pergaulan antar penduduk yang berbeda status kewarganegaraannya.
Sering terjadi perkawinan campuran yang melibatkan status kewarganegaraan yang berbeda-beda antara pasangan suami dan isteri. Terlepas dari perbedaan sistem kewarganegaraan yang dianut oleh masing-masing negara asal pasangan suami-isteri itu, hubungan hukum antara suami-isteri yang melangsungkan perkawinan campuran seperti itu selalu menimbulkan persoalan berkenaan dengan status kewarganegaraan dari putera-puteri mereka.
Oleh karena itulah diadakan pengaturan bahwa status kewarganegaraan itu ditentukan atas dasar kelahiran atau melalui proses naturalisasi atau pewarganegaraan. Dengan cara pertama, status kewarganegaraan seseorang ditentukan karena kelahirannya. Siapa saja yang lahir dalam wilayah hukum suatu negara, terutama yang menganut prinsip ‘ius soli’ sebagaimana dikemukakan di atas, maka yang bersangkutan secara langsung mendapatkan status kewarganegaraan, kecuali apabila yang bersangkutan ternyata menolak atau mengajukan permohonan sebaliknya.
Sudah menjadi kenyataan yang berlaku umum bahwa untuk berdirinya negara yang merdeka maka harus dipenuhi sekurang-kurangnya 3 syarat, yaitu adanya wilayah, rakyat yang tetap, dan pemerintahan yang berdaulat. Ketiga syarat ini merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan satu sama lain.
No comments:
Post a Comment