Ibnu Batutah, seorang pengembara muslim dari Maghribi, Maroko, misalnya, dalam catatannya mengatakan bahwa ia sempat mengunjungi Pasai pada 1345 M. Ibnu Batutah, yang singgah di Pasai selama 15 hari, menggambarkan Kesultanan Samudera Pasai sebagai “sebuah negeri yang hijau dengan kota pelabuhannya yang besar dan indah.‘‘ Ibnu Batutah menceritakan, ketika sampai di negeri Cina, ia melihat kapal Sultan Pasai di negeri itu. Memang, sumber-sumber Cina ada yang menyebutkan bahwa utusan Pasai secara rutin datang ke Cina untuk menyerahkan upeti.
Catatan pada Dinasti Mongol di Cina menunjukkan beberapa kerajaan di Sumatra, termasuk Kerajaan Samudera/Pasai, sempat menjalin relasi dengan Kerajaan Mongol yang berada di bawah komando Kubhilai Khan. Kerajaan Samudera/Pasai mulai mengadakan hubungan dengan Dinasti Mongol pada 1282. Kerajaan Samudera/Pasai menjalin hubungan dengan imperium besar di Asia itu melalui perutusan Cina yang kembali dari India Selatan dan singgah di Samudera Pasai. Peristiwa ini dianggap sebagai permulaan kontak antara Samudera Pasai dengan Cina/Mongol .
Informasi lain juga menyebutkan bahwa Sultan Samudera Pasai pernah mengirimkan utusan ke Quilon, India Barat, pada 1282 M. Ini membuktikan bahwa Kesultanan Pasai memiliki relasi yang cukup luas dengan kerajaan-kerajaan lain di luar negeri. Selain itu, dalam catatan perjalanan berjudul Tuhfat Al-Nazha, Ibnu Batutah menuturkan, pada masa itu Pasai telah menjelma sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara.
Pencatat asal Portugis yang pernah menetap di Malaka pada kurun 1512-1515, Tomi Pires, menyebutkan bahwa Pasai adalah kota terpenting pada masanya untuk seluruh Sumatra, karena tidak ada tempat lain yang penting di pulau itu kecuali Pasai. Nama kota tersebut oleh sebagian orang disebut sebagai Samudera dan kemudian lekat dengan nama Samudera Pasai serta menjadi simbol untuk menyebut Pulau Sumatra. Kota Pasai, menurut catatan Tomi Pires, ditaksir berpenduduk tidak kurang dari 20.000 orang (Ismail, 1997:37).
Marco Polo melaporkan, pada 1267 Masehi telah berdiri kerajaan Islam pertama di kepulauan nusantara, yang tidak lain adalah Kesultanan Pasai. Marco Polo berkunjung ke Pasai pada masa pemerintahan Sultan Malik Al Salih, tepatnya tahun 1292 Masehi, ketika kerajaan ini belum lama berdiri namun sudah memperlihatkan potensi kemakmurannya. Marco Polo singgah ke Samudera Pasai dalam rangkaian perjalanannya dari Tiongkok ke Persia. Kala itu, Marco Polo ikut dalam rombongan dari Italia yang melawat ke Sumatra sepulang menghadiri undangan dari Kubilai Khan, Raja Mongol, yang juga menguasai wilayah Tiongkok. Marco Polo menyebutkan, penduduk di Pasai pada waktu itu masih banyak yang belum memeluk agama (Islam), namun komunitas orang-orang Arab —yang disebut Marco dengan nama Saraceen— sudah cukup banyak dan berperan penting dalam upaya mengislamkan penduduk Aceh. Marco Polo menyebut kawasan yang disinggahinya itu dengan nama “Giava Minor” atau “Jawa Minor”
Selain sumber-sumber tertulis dan catatan perjalanan dari kaum pengelana, keterangan lain yang setidaknya dapat sedikit membantu dalam menguak riwayat Kesultanan Samudera Pasai diperoleh dari sisa-sisa peradaban yang ditinggalkan, seperti makam-makam kuno yang dibuat dari batu granit atau pualam dan mata uang—bernama Deureuham atau Dirham— yang ditemukan di Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara, Nanggroe Aceh Darussalam. Waktu wafatnya Sultan Malik As Salih, pendiri Kesultanan Samudera Pasai, sendiri dapat diketahui dari tulisan yang tertera pada sebuah nisan yang ditemukan di Blang Me, yakni tahun 697 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1297 Masehi. Sedangkan kapan Malik Al Salih dilahirkan belum ditemukan keterangan yang lebih jelas.
Catatan pada Dinasti Mongol di Cina menunjukkan beberapa kerajaan di Sumatra, termasuk Kerajaan Samudera/Pasai, sempat menjalin relasi dengan Kerajaan Mongol yang berada di bawah komando Kubhilai Khan. Kerajaan Samudera/Pasai mulai mengadakan hubungan dengan Dinasti Mongol pada 1282. Kerajaan Samudera/Pasai menjalin hubungan dengan imperium besar di Asia itu melalui perutusan Cina yang kembali dari India Selatan dan singgah di Samudera Pasai. Peristiwa ini dianggap sebagai permulaan kontak antara Samudera Pasai dengan Cina/Mongol .
Informasi lain juga menyebutkan bahwa Sultan Samudera Pasai pernah mengirimkan utusan ke Quilon, India Barat, pada 1282 M. Ini membuktikan bahwa Kesultanan Pasai memiliki relasi yang cukup luas dengan kerajaan-kerajaan lain di luar negeri. Selain itu, dalam catatan perjalanan berjudul Tuhfat Al-Nazha, Ibnu Batutah menuturkan, pada masa itu Pasai telah menjelma sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara.
Pencatat asal Portugis yang pernah menetap di Malaka pada kurun 1512-1515, Tomi Pires, menyebutkan bahwa Pasai adalah kota terpenting pada masanya untuk seluruh Sumatra, karena tidak ada tempat lain yang penting di pulau itu kecuali Pasai. Nama kota tersebut oleh sebagian orang disebut sebagai Samudera dan kemudian lekat dengan nama Samudera Pasai serta menjadi simbol untuk menyebut Pulau Sumatra. Kota Pasai, menurut catatan Tomi Pires, ditaksir berpenduduk tidak kurang dari 20.000 orang (Ismail, 1997:37).
Marco Polo melaporkan, pada 1267 Masehi telah berdiri kerajaan Islam pertama di kepulauan nusantara, yang tidak lain adalah Kesultanan Pasai. Marco Polo berkunjung ke Pasai pada masa pemerintahan Sultan Malik Al Salih, tepatnya tahun 1292 Masehi, ketika kerajaan ini belum lama berdiri namun sudah memperlihatkan potensi kemakmurannya. Marco Polo singgah ke Samudera Pasai dalam rangkaian perjalanannya dari Tiongkok ke Persia. Kala itu, Marco Polo ikut dalam rombongan dari Italia yang melawat ke Sumatra sepulang menghadiri undangan dari Kubilai Khan, Raja Mongol, yang juga menguasai wilayah Tiongkok. Marco Polo menyebutkan, penduduk di Pasai pada waktu itu masih banyak yang belum memeluk agama (Islam), namun komunitas orang-orang Arab —yang disebut Marco dengan nama Saraceen— sudah cukup banyak dan berperan penting dalam upaya mengislamkan penduduk Aceh. Marco Polo menyebut kawasan yang disinggahinya itu dengan nama “Giava Minor” atau “Jawa Minor”
Selain sumber-sumber tertulis dan catatan perjalanan dari kaum pengelana, keterangan lain yang setidaknya dapat sedikit membantu dalam menguak riwayat Kesultanan Samudera Pasai diperoleh dari sisa-sisa peradaban yang ditinggalkan, seperti makam-makam kuno yang dibuat dari batu granit atau pualam dan mata uang—bernama Deureuham atau Dirham— yang ditemukan di Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara, Nanggroe Aceh Darussalam. Waktu wafatnya Sultan Malik As Salih, pendiri Kesultanan Samudera Pasai, sendiri dapat diketahui dari tulisan yang tertera pada sebuah nisan yang ditemukan di Blang Me, yakni tahun 697 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1297 Masehi. Sedangkan kapan Malik Al Salih dilahirkan belum ditemukan keterangan yang lebih jelas.
No comments:
Post a Comment